Featured Post Today
print this page
Latest Post
Tampilkan postingan dengan label Wisata KITO. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Wisata KITO. Tampilkan semua postingan

Masjid Agung SMB II Palembang

Sejarah Masjid Agung SMB II Palembang


Masjid Agung pada mulanya disebut Masjid Sultan. Perletakan batu pertama pada tahun 1738, dan peresmiannya pada hari Senen tanggal 28 Jumadil Awal 115 H atau 26 Mei 1748. Masjid Agung didirikan oleh Sultan Mahmud Badaruddin I yang dikenal pula dengan Jayo Wikramo (memerintah tahun 1724-1758).

Masjid ini pada zamannya adalah masjid yang terindah dan terbesar di Nusantara, dengan arsitektur khas yaitu atap limas. Masjid ini pendiriannya di bawah pengawasan arsitek Eropa, dengan mengimpor sebagian besar materialnya dari luar negeri, seperti marmer dan kaca. Penulis-penulis ataupun pelapor baik bangsa Belanda maupun Eropa lainnya sangat mengagumi perpaduan arsitektur khas dengan sentuhan arsitektur Cina dan teknik dari Barat. Sketsa di atas dibuat oleh pelukis Belanda dan sekarang
menjadi salah satu dari koleksi Rijks Archief di 's-Gravenhage di bawah nama J.W. van Zanten (1822). Masjid tersebut dilukis dalam keadaan rusak berat, akibat perang Palembang-Belanda 1819 dan 1821.



Pada awalnya Masjid ini berukuran 1.080 m2 dengan kapasitas jamaah sebanyak kurang lebih 1.200 orang (untuk sirkulasi 20%). Kemudian sejak zaman kolonial sampai zaman kemerdekaan perubahan-perubahan dan perkembangannya terus diadakan, sehingga keaslian Masjid hilang sama sekali.


Catatan lainnya


Masjid Agung Palembang pada mulanya disebut Masjid Sultan dan dibangun pada tahun 1738 oleh Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo. Peresmian pemakaian masjid ini dilakukan pada tanggal 28 Jumadil Awal 1151 H (26 Mei 1748). Ukuran bangunan mesjid waktu pertama dibangun semula seluas 1080 meter persegi dengan daya tampung 1200 jemaah. Perluasan pertama dilakukan dengan wakaf Sayid Umar bin Muhammad Assegaf Altoha dan Sayid Achmad bin Syech Sahab yang dilaksanakan pada tahun 1897 dibawah pimpinan Pangeran Nataagama Karta mangala Mustafa Ibnu Raden Kamaluddin.
Pada awal pembangunannya (1738-1748), sebagaimana masjid-masjid tua di Indonesia, Mesjid Sultan ini pada awalnya tidak mempunyai menara. Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Najamudin (1758-1774) barulah dibangun menara yang letaknya agak terpisah di sebelah barat. Bentuk menaranya seperti pada menara bangunan kelenteng dengan bentuk atapnya berujung melengkung. Pada bagian luar badan menara terdapat teras berpagar yang mengelilingi bagian badan.

Bentuk masjid yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Agung, jauh berbeda tidak seperti yang kita lihat sekarang. Bentuk yang sekarang ini telah mengalami berkali-kali perombakan dan perluasan. Pada mulanya perbaikan dilakukan oleh pemerintah Belanda setelah terjadi perang besar tahun 1819 dan 1821. Setelah dilakukan perbaikan kemudian dilakukan
penambahan/perluasan pada tahun 1893, 1916, 1950-an, 1970-an, dan terakhir pada tahun 1990-an. Pada pekerjaan renovasi dan pembangunan tahun 1970-an oleh Pertamina, dilakukan juga pembangunan menara sehingga mencapai bentuknya yang sekarang. Menara asli dengan atapnya yang bergaya Cina tidak dirobohkan. Perluasan kedua kali pada tahun 1930. tahun 1952 dilakukan lagi perluasan oleh Yayasan Masjid Agung yang pada tahun 1966-1969 membangun tambahan lantai kedua sehingga luas mesjid sampai sekarang 5520 meter persegi dengan daya tampung 7.750.

Masjid Agung merupakan masjid tua dan sangat penting dalam sejarah Palembang. Masjid yang berusia sekitar 259 tahun itu terletak di Kelurahan 19 Ilir, Kecamatan Ilir Barat I, tepat di pertemuan antara Jalan Merdeka dan Jalan Sudirman, pusat Kota Palembang. Tak jauh dari situ, ada Jembatan Ampera. Masjid dan jembatan itu telah menjadi land mark kota hingga sekarang.
Dalam sejarahnya, masjid yang berada di pusat kerajaan itu menjadi pusat kajian Islam yang melahirkan sejumlah ulama penting pada zamannya. Syekh Abdus Samad al-Palembani, Kemas Fachruddin, dan Syihabuddin bin Abdullah adalah beberapa ulama yang berkecimpung di masjid itu dan memiliki peran penting dalam praksis dan wacana Islam.


Arsitektur


Sultan Mahmud Badaruddin I (Jayo Wikramo) meletakan batu pertama pendiri Mesjid Agung pada 1 Jumadil Akhir 1151 H (=1738 M). Bangunan ini berdiri dibelakang Kuto besak, Istana Sultan yang dulunya terletak disuatu Pulau yang dikelilingi oleh Sungai Musi
, Sungai Sekanak, Sungai Tengkuruk, dan Sungai Kapuran.
Tahap pertama pembangunan berlangsung dari tahun 1738 hingga 1748. Mulanya masjid didirikan tanpa menara. Sultan Najamuddin I, putra Sultan Mahmud Badaruddin I, lalu membangun menara di sebelah kanan depan, berbentuk segi enam setinggi sekitar 20 meter.

Masjid yang mempunyai arsitektur yang khas dengan atap limas-nya ini, konon merupakan bangunan masjid yang terbesar di nusantara pada kala itu. Arsiteknya orang Eropa dan beberapa bahan bangunannya seperti marmer dan kacanya diimpor dari luar nusantara. Kala itu daerah pengekspor marmer adalah Eropa. Dari gambar sketsa, atap limas mesjid ini bernuansa Cina dengan bagian ujung atapnya melengkung ke atas. Dengan demikian, pada bangunan mesjid itu terdapat perpaduan arsitektur Eropa dan Cina.

Sosok Masjid Agung saat ini cukup mencolok di tengah Kota Palembang yang semakin padat dan semrawut. Masjid berbentuk bujur sangkar dan bangunan utama berundak tiga dengan puncak atau mustaka berbentuk limas. Undakan ketiga yang menjadi puncak memiliki semacam leher yang jenjang yang dihiasi ukiran bermotif bunga. Pada puncak mustaka terdapat mustika berbentuk bunga merekah. Bentuk berundak dipengaruhi bentuk dasar candi Hindu-Jawa, yang kemudian diserap Masjid Agung Demak yang dipercaya didirikan Wali Songo, penyebar Islam di Jawa.

Di atas sisi limas terdapat jurai daun simbar atau semacam hiasan menyerupai tanduk kambing yang melengkung, sebanyak 13 setiap sisinya. Jurai yang berwarna emas itu berbentuk melengkung dan lancip. Tak pelak lagi, bentuk dasar jurai itu menyerupai atap kelenteng. Jendela masjid dibuat besar-besar dan tinggi, sedangkan tiang masjid dibuat kokoh dan besar. Pilihan ini menimbulkan kesan seperti umumnya arsitektur Eropa. Gaya itu juga banyak ditemui pada ban
gunan Indies, yang dibuat semasa Indonesia dijajah Belanda sekitar abad XVIII hingga awal abad XX.
Bangunan Masjid Pertama kali berukuran hampir berbentuk Persegi empat yaitu 30 x 36 m. Keempat sisi bangunan ini terdapat empat penampilan yang berfungsi sebagai pintu masuk, kecuali dibagian barat yang merupakan mihrab. Atapnya berbentuk atap tumpung, terdiri dari tiga tingkat yang melambangkan filosofi keagamaan, atap berundak adalah pengaruh dari candi.

Bahan-bahan yang dipergunakan adalah bahan kelas satu eks impor dari Eropa. Sulitnya mendatangkan material bangunan, maka pekerjaan ini cukup lama dan Masjid Baru dapat di resmikan pada Tanggal 28 Jumadil awal 1161 H atau 26 Mei 1748 M. Pada awalnya Masjid ini tidak mempunyai menara, barulah pada Tahun 1753 di buat menara yang beratap genteng dan tahun 1821 ber ganti atap sirap dan penambahan tinggi menara yang dilengkapi dengan beranda lingkar.

Setelah 100 tahun lebih berdirinya masjid yaitu tahun 1848 diadakan rencana perluasan oleh Pemerintah Kolonial sebelum perluasan diadakan perubahan bentuk gerbang serambi masuk dari bentuk tradisional menjadi bentuk Doric.
Pada tahun 1879 telah diadakan perubahan masjid, perluasan bentuk gerbang serambi masuk di bongkar ditambah serambi yang terbuka dengan tiang benton bulat sehingga bentuknya seperti Pendopo atau seperti gaya banguan kolonial ini adalah perluasan pertama dan penambahan rancangan dan tahun 1874 dilaporan bentuk menara beruba dari aslinya dan tahun 1916 menara ini disempurnakan lagi. Pada tahun 1930 diadakan perubahan yaitu menambah jarak pilar menjadi 4 m dari atap.

Setelah kemerdekaan tahun 1952 dilakukan perluasan ketiga dengan bentuk yang tidak lagi harmonis dengan aslinya dengan ditambah kubah. pengurus yayasan masjid agung 1966 -1979 meneruskan penambahan ruangan dengan menambah bangunan lantai 2 yang selesai tahun 1969. Pada tanggal 22 januari 1970 dimulai Pembanguan menara baru dengan tinggi 45 meter, bersegi.

12 yang dibiayai Pertamina dan di resmikan pada Tanggal 1 Februari 1971. Sejak tahun 2000 Masjid ini di renovasi dan selesai pada tanggal 16 Juni 2003 yang diresmikan oleh Preside
n RI Hj. Megawati Soekarno Putri.

Arsitektur Masjid Agung dan beberapa masjid lama di Palembang menawarkan bentuk-bentuk yang simbolik. Undak-undakan di pelataran dan di atap masjid, misalnya, melambangkan tarekat atau perjalanan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tingkat pertama merupakan syariah atau tahap penertiban amal perbuatan yang baik, sesuai dengan tuntunan agama. Tingkat kedua mencerminkan hakikat atau proses pencarian atas ruh yang tersimpan di balik perbuatan yang kasatmata. Tahap ketiga menjadi puncak perjalanan karena manusia telah mengalami marifat, mengenal hakikat Tuhan.

Bentuk undak-undakan senantiasa mengajak manusia untuk mengasah diri dengan menertibkan perbuatan, meraih makna, dan mengenal Tuhan. Tahap-
0 komentar

Masjid Agung SMB II Palembang

Sejarah Masjid Agung SMB II Palembang


Masjid Agung pada mulanya disebut Masjid Sultan. Perletakan batu pertama pada tahun 1738, dan peresmiannya pada hari Senen tanggal 28 Jumadil Awal 115 H atau 26 Mei 1748. Masjid Agung didirikan oleh Sultan Mahmud Badaruddin I yang dikenal pula dengan Jayo Wikramo (memerintah tahun 1724-1758).

 

Masjid ini pada zamannya adalah masjid yang terindah dan terbesar di Nusantara, dengan arsitektur khas yaitu atap limas. Masjid ini pendiriannya di bawah pengawasan arsitek Eropa, dengan mengimpor sebagian besar materialnya dari luar negeri, seperti marmer dan kaca. Penulis-penulis ataupun pelapor baik bangsa Belanda maupun Eropa lainnya sangat mengagumi perpaduan arsitektur khas dengan sentuhan arsitektur Cina dan teknik dari Barat. Sketsa di atas dibuat oleh pelukis Belanda dan sekarang
menjadi salah satu dari koleksi Rijks Archief di 's-Gravenhage di bawah nama J.W. van Zanten (1822). Masjid tersebut dilukis dalam keadaan rusak berat, akibat perang Palembang-Belanda 1819 dan 1821.

Pada awalnya Masjid ini berukuran 1.080 m2 dengan kapasitas jamaah sebanyak kurang lebih 1.200 orang (untuk sirkulasi 20%). Kemudian sejak zaman kolonial sampai zaman kemerdekaan perubahan-perubahan dan perkembangannya terus diadakan, sehingga keaslian Masjid hilang sama sekali.

Catatan lainnya

Masjid Agung Palembang pada mulanya disebut Masjid Sultan dan dibangun pada tahun 1738 oleh Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo. Peresmian pemakaian masjid ini dilakukan pada tanggal 28 Jumadil Awal 1151 H (26 Mei 1748). Ukuran bangunan mesjid waktu pertama dibangun semula seluas 1080 meter persegi dengan daya tampung 1200 jemaah. Perluasan pertama dilakukan dengan wakaf Sayid Umar bin Muhammad Assegaf Altoha dan Sayid Achmad bin Syech Sahab yang dilaksanakan pada tahun 1897 dibawah pimpinan Pangeran Nataagama Karta mangala Mustafa Ibnu Raden Kamaluddin.
Pada awal pembangunannya (1738-1748), sebagaimana masjid-masjid tua di Indonesia, Mesjid Sultan ini pada awalnya tidak mempunyai menara. Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Najamudin (1758-1774) barulah dibangun menara yang letaknya agak terpisah di sebelah barat. Bentuk menaranya seperti pada menara bangunan kelenteng dengan bentuk atapnya berujung melengkung. Pada bagian luar badan menara terdapat teras berpagar yang mengelilingi bagian badan.

Bentuk masjid yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Agung, jauh berbeda tidak seperti yang kita lihat sekarang. Bentuk yang sekarang ini telah mengalami berkali-kali perombakan dan perluasan. Pada mulanya perbaikan dilakukan oleh pemerintah Belanda setelah terjadi perang besar tahun 1819 dan 1821. Setelah dilakukan perbaikan kemudian dilakukan penambahan/perluasan pada tahun 1893, 1916, 1950-an, 1970-an, dan terakhir pada tahun 1990-an. Pada pekerjaan renovasi dan pembangunan tahun 1970-an oleh Pertamina, dilakukan juga pembangunan menara sehingga mencapai bentuknya yang sekarang. Menara asli dengan atapnya yang bergaya Cina tidak dirobohkan. Perluasan kedua kali pada tahun 1930. tahun 1952 dilakukan lagi perluasan oleh Yayasan Masjid Agung yang pada tahun 1966-1969 membangun tambahan lantai kedua sehingga luas mesjid sampai sekarang 5520 meter persegi dengan daya tampung 7.750.

Masjid Agung merupakan masjid tua dan sangat penting dalam sejarah Palembang. Masjid yang berusia sekitar 259 tahun itu terletak di Kelurahan 19 Ilir, Kecamatan Ilir Barat I, tepat di pertemuan antara Jalan Merdeka dan Jalan Sudirman, pusat Kota Palembang. Tak jauh dari situ, ada Jembatan Ampera. Masjid dan jembatan itu telah menjadi land mark kota hingga sekarang.
Dalam sejarahnya, masjid yang berada di pusat kerajaan itu menjadi pusat kajian Islam yang melahirkan sejumlah ulama penting pada zamannya. Syekh Abdus Samad al-Palembani, Kemas Fachruddin, dan Syihabuddin bin Abdullah adalah beberapa ulama yang berkecimpung di masjid itu dan memiliki peran penting dalam praksis dan wacana Islam.

Arsitektur

Sultan Mahmud Badaruddin I (Jayo Wikramo) meletakan batu pertama pendiri Mesjid Agung pada 1 Jumadil Akhir 1151 H (=1738 M). Bangunan ini berdiri dibelakang Kuto besak, Istana Sultan yang dulunya terletak disuatu Pulau yang dikelilingi oleh Sungai Musi, Sungai Sekanak, Sungai Tengkuruk, dan Sungai Kapuran.
Tahap pertama pembangunan berlangsung dari tahun 1738 hingga 1748. Mulanya masjid didirikan tanpa menara. Sultan Najamuddin I, putra Sultan Mahmud Badaruddin I, lalu membangun menara di sebelah kanan depan, berbentuk segi enam setinggi sekitar 20 meter.

Masjid yang mempunyai arsitektur yang khas dengan atap limas-nya ini, konon merupakan bangunan masjid yang terbesar di nusantara pada kala itu. Arsiteknya orang Eropa dan beberapa bahan bangunannya seperti marmer dan kacanya diimpor dari luar nusantara. Kala itu daerah pengekspor marmer adalah Eropa. Dari gambar sketsa, atap limas mesjid ini bernuansa Cina dengan bagian ujung atapnya melengkung ke atas. Dengan demikian, pada bangunan mesjid itu terdapat perpaduan arsitektur Eropa dan Cina.

Sosok Masjid Agung saat ini cukup mencolok di tengah Kota Palembang yang semakin padat dan semrawut. Masjid berbentuk bujur sangkar dan bangunan utama berundak tiga dengan puncak atau mustaka berbentuk limas. Undakan ketiga yang menjadi puncak memiliki semacam leher yang jenjang yang dihiasi ukiran bermotif bunga. Pada puncak mustaka terdapat mustika berbentuk bunga merekah. Bentuk berundak dipengaruhi bentuk dasar candi Hindu-Jawa, yang kemudian diserap Masjid Agung Demak yang dipercaya didirikan Wali Songo, penyebar Islam di Jawa.

Di atas sisi limas terdapat jurai daun simbar atau semacam hiasan menyerupai tanduk kambing yang melengkung, sebanyak 13 setiap sisinya. Jurai yang berwarna emas itu berbentuk melengkung dan lancip. Tak pelak lagi, bentuk dasar jurai itu menyerupai atap kelenteng. Jendela masjid dibuat besar-besar dan tinggi, sedangkan tiang masjid dibuat kokoh dan besar. Pilihan ini menimbulkan kesan seperti umumnya arsitektur Eropa. Gaya itu juga banyak ditemui pada bangunan Indies, yang dibuat semasa Indonesia dijajah Belanda sekitar abad XVIII hingga awal abad XX.
Bangunan Masjid Pertama kali berukuran hampir berbentuk Persegi empat yaitu 30 x 36 m. Keempat sisi bangunan ini terdapat empat penampilan yang berfungsi sebagai pintu masuk, kecuali dibagian barat yang merupakan mihrab. Atapnya berbentuk atap tumpung, terdiri dari tiga tingkat yang melambangkan filosofi keagamaan, atap berundak adalah pengaruh dari candi.

Bahan-bahan yang dipergunakan adalah bahan kelas satu eks impor dari Eropa. Sulitnya mendatangkan material bangunan, maka pekerjaan ini cukup lama dan Masjid Baru dapat di resmikan pada Tanggal 28 Jumadil awal 1161 H atau 26 Mei 1748 M. Pada awalnya Masjid ini tidak mempunyai menara, barulah pada Tahun 1753 di buat menara yang beratap genteng dan tahun 1821 ber ganti atap sirap dan penambahan tinggi menara yang dilengkapi dengan beranda lingkar.

Setelah 100 tahun lebih berdirinya masjid yaitu tahun 1848 diadakan rencana perluasan oleh Pemerintah Kolonial sebelum perluasan diadakan perubahan bentuk gerbang serambi masuk dari bentuk tradisional menjadi bentuk Doric.
Pada tahun 1879 telah diadakan perubahan masjid, perluasan bentuk gerbang serambi masuk di bongkar ditambah serambi yang terbuka dengan tiang benton bulat sehingga bentuknya seperti Pendopo atau seperti gaya banguan kolonial ini adalah perluasan pertama dan penambahan rancangan dan tahun 1874 dilaporan bentuk menara beruba dari aslinya dan tahun 1916 menara ini disempurnakan lagi. Pada tahun 1930 diadakan perubahan yaitu menambah jarak pilar menjadi 4 m dari atap.

Setelah kemerdekaan tahun 1952 dilakukan perluasan ketiga dengan bentuk yang tidak lagi harmonis dengan aslinya dengan ditambah kubah. pengurus yayasan masjid agung 1966 -1979 meneruskan penambahan ruangan dengan menambah bangunan lantai 2 yang selesai tahun 1969. Pada tanggal 22 januari 1970 dimulai Pembanguan menara baru dengan tinggi 45 meter, bersegi.

12 yang dibiayai Pertamina dan di resmikan pada Tanggal 1 Februari 1971. Sejak tahun 2000 Masjid ini di renovasi dan selesai pada tanggal 16 Juni 2003 yang diresmikan oleh Presiden RI Hj. Megawati Soekarno Putri.

Arsitektur Masjid Agung dan beberapa masjid lama di Palembang menawarkan bentuk-bentuk yang simbolik. Undak-undakan di pelataran dan di atap masjid, misalnya, melambangkan tarekat atau perjalanan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tingkat pertama merupakan syariah atau tahap penertiban amal perbuatan yang baik, sesuai dengan tuntunan agama. Tingkat kedua mencerminkan hakikat atau proses pencarian atas ruh yang tersimpan di balik perbuatan yang kasatmata. Tahap ketiga menjadi puncak perjalanan karena manusia telah mengalami marifat, mengenal hakikat Tuhan.

Bentuk undak-undakan senantiasa mengajak manusia untuk mengasah diri dengan menertibkan perbuatan, meraih makna, dan mengenal Tuhan. Tahap-tahap itu merupakan perjalanan spiritual yang tiada berakhir.

gambar Mesjid Agung SMB II Sekarang



0 komentar

Taman Wisata Alam Punti Kayu Palembang

Taman Wisata Alam Punti Kayu  Palembang 

Punti Kayu, adalah satu-satunya taman wisata alam yang menyajikan beberapa hiburan bernuansa hutan wisata untuk melengkapi wisata anda di kota Palembang. Dengan luas sekitar 50 hektar, dulunya ditetapkan sebagai hutan lindung, dan sekarang sudah menjadi objek wisata terbuka.

Lokasi & Akomodasi

Taman Wisata Alam (TWA) Punti Kayu, berlokasi di Jl. Kol.H.Burlian, kecamatan Sukarami. Berjarak sekitar 7 km dari pusat kota. Akses menuju ketempat ini, jika dari pusat kota/ Masjid Agung, jalan lurus melalui Jl. Jend.Sudirman sampai ke KM 7. Jika menggunakan angkutan umum, naik angkot KM 5 yang lebih akrab disebut angkot ‘palimo’ (berwarna merah) dari pusat kota, turun di pasar palimo. Dilanjutkan dengan naik angkot jurusan talang betutu (warna krem) dan berhenti di depan TWA Punti Kayu. Ongkos angkutan umum tersebut sebesar Rp. 2500 sekali naik.

Jika ingin menggunakan angkutan yang lebih aman dan nyaman, saya sarankan untuk naik Trans Musi, dari halte Masjid Agung dan turun di halte Punti Kayu. Harganya memang sedikit lebih tinggi, yaitu sebesar Rp. 4000. Tapi jika naik angkot sekalipun kita harus dua kali ganti angkot dan membayar dua kali juga, sehingga ongkos pun lebih mahal. Lagipula dengan angkutan Trans Musi ini akan lebih terasa aman dan nyaman dengan fasilitas AC.



Wisata

Jam operasional TWA Punti Kayu adalah jam 09:00-16:00. Untuk menikmati wisata TWA Punti Kayu, anda akan dikenakan biaya masuk sebesar Rp. 5000 untuk dewasa dan Rp. 2000 untuk anak-anak dibawah 6 tahun. Sedangkan kendaraan roda empat dikenakan biaya sebesar Rp. 3000 dan Rp. 2000 untuk kendaraan roda dua.

Wisata yang di tawarkan di dalam TWA Punti Kayu, bermacam-macam, diantaranya arena bermain, kebun binatang, kolam renang, arena menunggang kuda, menaiki gajah, fasilitas outbound, jembatan gantung, pondok-pondok untuk duduk-duduk atau piknik serta wilayah perkemahan. Untuk menikmati fasilitas ini, anda harus membayar lagi, dengan biaya Rp. 5000 untuk memasuki arena bermain (buka pada hari minggu saja) dan area kebun binatang, Rp. 10000 untuk masuk ke arena jembatan gantung, Rp. 4000 untuk naik gajah atau Rp. 3000 untuk menunggang kuda, sedangkan untuk masuk ke area kolam renang, dikenakan biaya sebesar Rp. 10000 di hari senin-jum’at sedangkan pada hari sabtu-minggu dan hari libur dikenakan biaya sebesar Rp. 20000.

Untuk area perkemahan sendiri, tersedia 3 tipe lokasi, yang pertama yaitu Pinus dengan harga Rp. 150000 per pendopo, dan tipe lainnya yaitu Mahoni dan Akasia dengan harga Rp. 100000 per pendoponya . Fasilitas penunjang juga cukup lengkap disini, mulai dari pusat informasi, toilet umum, mushola serta warung-warung yang menjual makanan. Untuk outbound, di lakukan dengan memesan terlebih dahulu pada pihak penyelenggara. Bisa ditanyakan langsung di pusat informasi yang berlokasi di tempat membayar karcis masuk.

Di TWA Punti Kayu, juga menyewakan lahan untuk anda mengadakan acara-acara, tapi hanya bisa di sewa pada hari minggu. Sehingga bisa meramaikan kegiatan Punti Kayu pada hari minggu.

Di area kebun binatang kita bisa menjumpai beberapa jenis hewan, diantaranya buaya, siamang, elang dan beberapa hewan lainnya. Sedangkan pohon-pohon yang ada di hutan wisata ini, mayoritas di tumbuhi oleh pohon pinus. Di luar area kebun binatang, biasa dijumpai monyet-monyet yang bermain di pepohonan dan serunya, kita bisa berinteraksi langsung dengan para monyet, tapi tetap harus hati-hati untuk tidak membuat si monyet merasa terganggu.

Tips

Sebelum mengunjungi hutan wisata ini, ada beberapa hal yang cukup membantu, Pertama, jika anda bermaksud untuk piknik, atau makan di TWA Punti Kayu, usahakan membawa makanan dari luar, karena harga makanan disini cukup mahal.

Kedua, datanglah pada akhir pekan atau hari libur nasional karena pada hari biasa, TWA Punti Kayu sepi pengunjung, untuk naik gajah ataupun kuda juga tidak tesedia pada hari biasa. Arena Permainannya pun tidak di buka. Tapi pada hari libur, biasanya di adakan beberapa acara di sini, misalnya acara musik, atau beberapa lomba-lomba untuk mengisi acara serta semua area wisata di buka.

Ketiga, jika anda berniat untuk piknik di hari minggu, siapkan tikar atau alas duduk, karena pondokkan biasanya ramai, sehingga alternatif yang bisa di pakai adalah duduk di bawah rindangnya pepohonan dan anda bisa memilih lokasi dimanapun yang anda inginkan di area taman. Sekalipun anda dapat pondokkan, sebaiknya tetap membawa alas duduk, karena tempatnya terkadang kotor.

Keempat, jika anda hanya ingin melihat dan datang pada hari biasa, anda bisa sekedar berfoto dengan gajah yang bisa anda temui di dekat telaga yang terletak di dekat gerbang masuk TWA Punti Kayu, biasanya pawing gajah meminta uang Rp. 2000 untuk sekali foto. Untuk menemukan kuda, bisa di temukan di dekat kolam renang. Biasanya tidak ada yang jaga, bisa langsung foto, atau jika anda takut untuk mendekat, bila beruntung, anda akan bertemu pawangnya dan di persilahkan berfoto secara gratis.

Dan terakhir, jangan kira banyak pepohonan disini menandakan tempat ini dingin ataupun rindang. Di siang hari, jika hari sedang terik, suasana akan tetap terasa panas. Belum lagi suhu di kota Palembang memang cukup panas. Bagi anda yang takut panas bisa membawa sunblock, atau gunakan celana atau pakaian lengan panjang.

TWA Punti Kayu, merupakan area wisata yang cukup lengkap dengan beberapa wahana di dalamnya. Di satu lokasi kita bisa mendapatkan berbagai pengalaman permainan. Jadi cobalah untuk mengunjungi TWA ini ketika anda sedang berada di kota Palembang.
0 komentar

Wisata Benteng Kuto Besak (BKB)

Benteng Kuto Besak – Palembang


Benteng Kuto Besak – adalah salah satu objek wisata yang terkenal di Palembang, karena dari tempat inilah kita bisa menikmati indahnya Jembatan Ampera yang menjadi ikon kota ini. Menurut hasil pengamatan, sebagian besar dari wisatawan yang berkunjung ke kota pempek ini, tempat pertama yang ingin mereka kunjungi adalah Benteng Kuto Besak, atau yang lebih dikenal dengan sebutan BKB. Mau tahu kenapa? Hmm..kenapa anda tidak coba datang langsung saja ke lokasi tersebut, agar anda bisa melihat sendiri bagaimana indahnya panorama matahari terbenam dari sana. Bahkan ada juga segelintir anak-anak yang tinggal di dekat sana datang ke benteng itu untuk bermain bola, atau pun berenang di sungai musi, tentunya haruslah benar-benar mahir karena sungai ini cukup dalam.

Sejarah singkat


Benteng Kuto Besak merupakan bangunan peninggalan sejarah pada masa Kesultanan Palembang Darussalam. Benteng ini dibangun selama 17 tahun, pembangunan tersebut di mulai pada abad ke-17 Masehi (sekitar tahun 1780) Pemprakarsa pembangunan benteng ini adalah Sultan Mahmud Badaruddin I (1724 – 1758) dan pembangunannya dilaksanakan oleh Sultan Muhammad Bahauddin yang merupakan putra dari Sultan Mahmud Badaruddin I.
Benteng ini mempunyai ukuran panjang 188,75 meter, lebar 183,75 meter dan tinggi 9,99 meter (30 kaki) serta tebal 1,99 meter (6 kaki). Tempat yang menjadi objek wisatanya bertempat di depan benteng, karena di dalam benteng ditempati oleh Komando Daerah Militer (Kodam) Sriwijaya.




Lokasi dan Akomodasi


Kalau kita bicara tentang akomodasi, hal itu bukanlah sebuah masalah besar, karena hampir semua angkutan umum di kota Palembang ini menuju Ampera sebagai tujuan terakhirnya, meski ada beberapa angkutan yang tidak menuju kesana. Dimana pun lokasi anda, baik dari daerah Perumnas (sako), Lemabang, Sekip, Pakjo, Bukit, Plaju, sampai KM5 anda tinggal naik angkutan umum dengan tujuan “Ampera” dan ongkos sebesar Rp 2.500, maka anda akan berhenti jika sudah sampai tepat di bawah Jembatan Ampera yang megah dan kokoh tersebut, selanjutnya hanya sedikit berjalan kaki dari bawah Jembatan Ampera dan anda akan sampai ke lokasi tujuan anda yaitu Benteng Kuto Besak (BKB).

Bagi anda yang berada di daerah Km12 tidak perlu bingung bagaimana caranya ke BKB, anda cukup naik bus kota dengan jurusan KM12 – Terminal Karya jaya, dengan ongkos yang sama tentunya, tetapi jangan lupa untuk berhenti di depan Jembatan Ampera, tepatnya disamping Masjid Agung, karena tidak mungkin anda berhenti tepat depan jembatan itu karna akan melanggar tata tertib dan juga melanggar aturan lalu lintas disana, anda juga tidak mungkin turun dibawah jembatan tersebut seperti saat anda naik angkutan umum, karna bus tersebut akan langsung naik ke atas jembatan untuk menyebrang. Sekedar mengingatkan, ada baiknya anda tidak mengeluarkan handphone saat berada di dalam bus kota, karna sedikit kurang aman mengingat adanya peluang terjadi tindakan kriminal di dalam bus.

Mengulas tentang keamanan, ada baiknya jika anda memakai Bus Transmusi untuk menuju ampera, meski tarifnya sedikit lebih mahal dari bus biasa, tetapi hanya dengan membayar Rp 4.000 anda sudah bisa mendapatkan kenyamanan dan keamanan dalam perjalanan anda. Karena Bus yang berada dibawah naungan Pemerintah Daerah (Pemda) tersebut memberikan fasilitas AC sehingga anda tidak akan kepanasan jika matahari sedang terik-teriknya.

Kuliner


Jika sore hari tiba, tidak sedikit masyarakat kota Palembang yang mengunjungi BKB, tidak hanya untuk menikmati sunset, tapi ada juga yang datang untuk memancing, berfoto bersama. Hal ini dimanfaatkan pedagang untuk menjajakan barang dagangannya di sana, termasuk pedagang mie tektek. tidak perlu bingung kemana harus mencari makanan tersebut, karena hampir disepanjang pelataran BKB ada pedagang yang menjual mie tek-tek. Pengunjung dapat menghampiri pedagang mie tek-tek dan memesannya sesuai selera. Tidak perlu menghabiskan banyak uang, hanya dengan merogoh kocek sebesar Rp 5.000 anda sudah bisa menikmatinya.

BKB di Sore Hari


Tidak hanya itu, tentunya anda tahu makanan khas dari kota Palembang ini, Empek-Empek, atau sering disebut sebagai Pempek. Siapa yang tidak mengenal makanan yang terbuat dari daging ikan tersebut. Meskipun setiap hari memakannya, tetap saja tidak akan membuat masyarakat kota Palembang bosan dengan makanan yang satu ini.

Nah, di Benteng Kuto Besak ini sering dijumpai pedagang pempek dengan harga yang relatif murah. Tidak hanya pempek, anda juga bisa menemukan orang yang berjualan kemplang (kerupuk ikan), dan beberapa warung makan kecil yang menjual nasi goreng, gado-gado, bakso, model, dan beberapa makanan lainnya. Atau jika anda ingin makan di restoran sambil menikmati keindahan Sungai Musi, anda bisa ke “River Side” di area BKB, sebuah restoran mewah yang berada di atas kapal. Tetapi, untuk menikmati suasana restoran ini anda harus merogoh kocek lebih dalam.

Tips


Jika ingin berkunjung ke Benteng Kuto Besak, sebaiknya di sore atau malam hari, karena cuaca sangat panas saat siang, serta penjual-penjual pun belum ramai. Jika berkunjung pada sore hari, anda bisa melihat sunset di sini sembari menikmati kuliner di sepanjang Benteng Kuto Besak, dan pada malam harinya, anda bisa melihat Jembatan Ampera yang tampak megah dihiasi lampu-lampu ketika malam.

1 komentar

Wisata Sungai Musi


A. Selayang Pandang

Sungai Musi mempunyai panjang 750 Km dan merupakan sungai terpanjang di Pulau Sumatera. Sejak masa Kerajaan Sriwijaya, sungai ini terkenal sebagai sarana transportasi utama masyarakat. Di tepi Sungai Musi terdapat Pelabuhan Boom Baru dan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.

Sungai Musi membelah Kota Palembang menjadi dua bagian kawasan: seberang ilir di bagian utara dan seberang ulu di bagian selatan. Mata airnya bersumber di daerah Kepahiang, Bengkulu. Sungai ini merupakan muara sembilan anak sungai besar, yaitu Sungai Komering, Rawas, Batanghari, Leko, Lakitan, Kelingi, Lematang, Semangus, dan Ogan. Sungai Musi penting bagi masyarakat Palembang karena sebagai salah satu alternatif sarana transportasi. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya perahu (taksi) motor yang mondar-mandir membawa penumpang yang ingin menyeberang.

Biasanya pengunjung berdatangan pada sore hingga malam hari untuk menyaksikan matahari terbenam dan suasana malam yang diterangi lampu-lampu di sekitar sungai. Pada malam Minggu atau malam liburan lainnya, biasanya jumlah pengunjung yang mengunjungi jembatan Ampera dan sekitarnya akan lebih banyak.

B. Keistimewaan





Sungai Musi menjadi tempat rekreasi untuk tua-muda dan anak-anak, termasuk wisatawan di luar kota Palembang. Di kawasan ini, pengunjung dapat menyaksikan Rumah Rakit, yaitu rumah tradisional khas Palembang.

Pada hari-hari perayaan tertentu, misalnya Hari Peringatan Kemerdekaan Indonesia, diadakan festival air, seperti perlombaan perahu (bidar), kontes menghias perahu, perlombaan berenang menyeberangi sungai dan lain-lain.


C. Lokasi

Sungai Musi terletak di tengah kota Palembang, yang mana bagian ilir berada di Palembang bagian utara dan ulu berada di Palembang bagian selatan.

D. Tiket Masuk

Untuk memasuki kawasan ini pengunjung tidak perlu membayar tiket masuk karena Sungai Musi merupakan kawasan terbuka.

E. Akses

Untuk menuju ke Sungai Musi, pengunjung dapat menggunakan angkutan kota (angkot) dengan jurusan Ampera atau Pasar 16 Ilir dari terminal Sako Kenten Palembang, tarifnya sekitar Rp.1.500,- sampai Rp.5.000,- atau menggunakan Becak Palembang, dengan tarif sekitar Rp.5.000,- sampai Rp.10.000,-.

F. Akomodasi dan Fasilitas

Di sekitar Sungai Musi terdapat banyak penginapan dengan tarif yang bervariasi antara Rp.250.000,- sampai Rp.5.000.000,-. Sedangkan untuk keperluan makan pengunjung tidak perlu bingung karena di tempat ini terdapat banyak rumah makan, baik yang ada di pinggir sungai atau di rumah terapung. Rumah-rumah makan tersebut menawarkan menu andalannya, seperti Pindang Ikan Patin yang merupakan makanan khas Palembang. Selain itu, di sekitar Sungai Musi terdapat penjual kerupuk, pempek Palembang dan kerajinan-kerajinan tangan, seperti songket dan kain jumputan.

Di kawasan Jembatan Ampera, pengunjung dapat menyewa perahu motor dengan tarif antara Rp.50.000, sampai Rp.100.000,- tergantung kelihaian penyewa dalam menawar
0 komentar
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. CAFETARIAN - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger