Lapangan Banteng disebut waterlooplein pada jaman penjajahan Belanda. Pada masa itu, lapangan banteng dikenal dengan sebutan Lapangan Singa karena ditengahnya terpancang tugu peringatan kemenangan perang di Waterloo, dengan patung singa di atasnya.
Tugu tersebut didirikan pada jaman pemerintahan pendudukan tentara Jepang. Setelah Indonesia merdeka namanya diganti menjadi Lapangan Banteng, rasanya memang lebih tepat, bukan saja karena singa mengingatkan kita pada lambang penjajah, tetapi juga tidak terdapat dalam dunia fauna kita. Sebaliknya, banteng merupakan lambing nasionalisme Indonesia.
Disamping itu, besar kemungkinan pada jaman dahulu tempat yang kini menjadi Lapangan itu dihuni berbagai macam satwa liar seperti macan, kijang, dan banteng. Pada waktu J.P. Coen membangun kota Batavia di dekat muara Ci Liwung, lapangan tersebut dan sekelilingnya masih berupa hutan belantara yang sebagian berpaya – paya (De Haan 1935:69).
Menurut catatan resmi, pada tahun 1632 kawasan tersebut menjadi milik Anthony Paviljoen Sr, dikenal dengan sebutan Paviljoensveld, atau Lapangan Paviljoen Jr. Agaknya, pemilik kawasan itu lebih suka menyewakannya kepada orang – orang Cina yang menanaminya dengan tebu dan sayur – mayor, sedangkan untuk dirinya sendiri ia hanya menyisakan hak untuk berternak sapi. Pemilik berikutnya adalah seorang anggota Dewan Hindia, Cornelis Chastelein, yang memberi nama Weltevreden, yang kurang lebih artinya ‘sungguh memuaskan”, bagi kawasan tersebut setelah berganti – ganti pemilik, termasuk Justinus Vinck yang mulai pertama membangun Pasar Senen, pada tahun 1767, tanah Weltevreden menjadi milik Gubernur Jenderal Van der Parra. Pada awal abad ke-19 Weltevreden semakin berkembang tangsi pasukan infanteri juga berbagai kesenjataan lainnya yang tersebar sampai ke Taman Pejambon dan Taman du Bus, di belakang kantor Departemen Keuangan sekarang.
Pada pertengahan abad ke-19 Lapangan Banteng menjadi tempat berkumpulnya golongan elit Kota Batavia. Setiap Sabtu sore sampai malam diperdengarkan musik militer (V.I. van de Wall 1933: 18-19).
Patung yang berada di tengah-tengah lapangan Banteng ini dibuat pada tahun 1962, pada waktu bangsa Indonesia sedang berjuang untuk membebaskan wilayah Irian Barat (Irian Jaya, kemudian sekarang menjadi Papua). Ide pembuatan patung berasal dari Bung Karno, kemudian “diterjemahkan” oleh Henk Ngantung dalam bentuk sketsa. Ide tersebut tercetus dari pidato Bung Karno di Yogyakarta. Pidato Bung Karno telah menggerakkan massa untuk bertekad membebaskan saudara-saudaranya di Irian Barat dari belenggu penjajahan Belanda.
Patung ini menggambarkan seorang yang telah berhasil membebaskan belenggu (maksudnya adalah penjajahan Belanda).
Posting Komentar